Example floating
Example floating
HukumPekanbaru

Kemenangan PTPN atas Petani Sawit di PN Bangkinang: Potret Buram Penegakan Hukum

Admin
82
×

Kemenangan PTPN atas Petani Sawit di PN Bangkinang: Potret Buram Penegakan Hukum

Sebarkan artikel ini

PEKANBARU, hitsnasional.com – Hakim adalah mata rantai terlemah dalam sistem peradilan kita, dan mereka juga yang paling terlindungi. (Alan Dershowitz, Pengacara Amerika Serikat)

Saya bersyukur pernah dipercaya menjadi kuasa hukum sekitar 200 petani sawit di Siak Hulu, Kampar, Riau. Dalam proses mendampingi mereka, saya menyaksikan langsung berbagai dinamika yang memperlihatkan ketimpangan dalam sistem hukum, terutama saat masyarakat kecil berhadapan dengan korporasi besar di pengadilan.

Sidang demi sidang yang kami jalani sarat akan nuansa rekayasa dan tekanan. Saya pun menyimpulkan, inilah potret buram penegakan hukum.

Para petani yang tergabung dalam Koperasi Produsen Petani Sawit Mandiri (KOPPSA-M) saat itu digugat oleh PTPN IV perusahaan BUMN yang sebelumnya berperan sebagai “bapak angkat” dalam program kemitraan pembangunan kebun sawit seluas kurang lebih 1.800 hektare. Ironisnya, justru perusahaan inilah yang menggugat petani ke Pengadilan Negeri Bangkinang.

Nilai gugatan tidak main-main: para petani dituntut bertanggung jawab atas utang senilai Rp140 miliar, yang berasal dari dana talangan (kredit) Bank Mandiri. Padahal, para petani tidak pernah merasa mengajukan atau menyetujui kredit tersebut. Mereka menduga, dokumen pengajuan kredit itu dipalsukan oleh oknum yang berkepentingan.

Selain itu, proses pembangunan kebun pun dilakukan secara tidak profesional. Pra-tanam hingga perawatan kebun dikerjakan asal-asalan, yang menyebabkan kebun gagal tumbuh dan tidak menghasilkan. Hal ini diperparah oleh lepas tanggung jawab pihak PTPN sebagai pelaksana program.

Kondisi ini membuat petani tidak mampu memenuhi kewajiban membayar cicilan kredit, yang pada akhirnya menjadi dasar gugatan dari PTPN. Lebih menyedihkan lagi, dalam gugatannya, PTPN meminta agar pengadilan menyita seluruh kebun petani yang bahkan tidak dijadikan agunan dalam kredit tersebut.

Di sinilah kami merasa keadilan benar-benar diuji.

Proses Persidangan yang Dipertanyakan

Saat memasuki persidangan, kami melihat gelagat keberpihakan majelis hakim, khususnya Ketua Majelis Hakim Soni Nugraha. Salah satunya tampak saat sidang pemeriksaan setempat (PS). Hakim membatasi akses tergugat terhadap lokasi-lokasi yang menurut kami relevan untuk membuktikan bahwa kebun tidak produktif akibat kelalaian PTPN.

Padahal, inti gugatan menyangkut pembayaran kredit yang tidak sanggup dibayar karena kebun tidak menghasilkan. Mengapa hal itu dianggap tidak berkorelasi?

Keberpihakan semakin terasa dalam pembatasan jumlah saksi dari pihak tergugat. Dari banyak saksi yang kami ajukan, hanya dua yang diizinkan memberi keterangan. Bahkan, dua saksi ahli kami yang memberi penjelasan hukum mendalam diabaikan dalam pertimbangan putusan.

Putusan yang Menuai Tanda Tanya

Putusan perkara bernomor 75/Pdt.G/2024/PN.Bkn, yang dibacakan pada 28 Mei 2024, mengabulkan seluruh gugatan penggugat. Petani diperintahkan membayar dana talangan sebesar Rp140 miliar dan dikenai sita jaminan serta sita eksekusi atas kebun mereka.

Kami tentu menghormati putusan tersebut, namun tetap menggunakan hak untuk mengajukan banding. Kami berharap proses hukum di tingkat berikutnya lebih objektif, terbuka, dan tidak menjadi alat untuk melegalkan bentuk-bentuk penindasan.

Sebagai praktisi hukum yang sudah hampir 40 tahun membela masyarakat kecil, saya menyaksikan satu lagi bukti empiris bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam menegakkan keadilan: potret buram penegakan hukum.

Catatan Hukum: Armilis Ramaini, S.H.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *