JAKARTA, hitsnasional.com – 24 April 2025, Harga Bitcoin kembali menunjukkan kekuatannya dengan menembus level sekitar US$93.000 atau setara Rp1,56 miliar pada pekan ini. Kenaikan ini menciptakan momentum baru di pasar kripto global dan menjadi salah satu lonjakan paling ditunggu sejak bulan lalu, sekaligus menjadi sinyal kuat berlanjutnya tren bullish Bitcoin di tengah ketidakpastian makroekonomi global.
Salah satu faktor utama yang mendorong lonjakan harga ini adalah aksi beli masif dari institusi besar seperti MicroStrategy, yang baru saja membeli 6.556 BTC senilai US$555,8 juta pada periode 14–20 April 2025. Transaksi ini membuat total kepemilikan Bitcoin perusahaan tersebut mencapai 538.200 BTC, menjadikannya perusahaan publik dengan kepemilikan Bitcoin terbesar di dunia.
Meski sempat mencatat kerugian sementara hingga US$6 miliar pada April 2025 akibat penurunan harga Bitcoin, MicroStrategy tetap yakin bahwa masa depan Bitcoin cerah dan terus konsisten dengan strateginya.
Kepemilikan besar oleh institusi seperti MicroStrategy turut meningkatkan kepercayaan investor ritel. Selain itu, data dari Farside Investors mencatat arus masuk bersih ETF Bitcoin spot sebesar US$381,3 juta dalam satu hari—angka tertinggi sejak 30 Januari 2025.
Kembalinya investor institusional menunjukkan adanya rotasi pasar dari aset tradisional ke aset digital. Sentimen ini diperkuat oleh melemahnya pasar saham akibat ketegangan geopolitik, khususnya antara Presiden AS Donald Trump dan Ketua The Fed Jerome Powell.
Trump secara terbuka mengkritik Powell dan mendesaknya menurunkan suku bunga secara preventif. Ketegangan ini menimbulkan kekhawatiran akan independensi The Fed, serta memperburuk volatilitas pasar tradisional, sehingga mendorong investor mencari aset lindung nilai alternatif seperti Bitcoin.
CEO INDODAX, Oscar Darmawan, menyambut fenomena ini dengan optimisme. Ia menegaskan bahwa kenaikan harga Bitcoin bukan terjadi secara kebetulan, melainkan hasil dari adopsi jangka panjang dan kepercayaan publik yang kian menguat terhadap aset digital.
“Bitcoin sedang mengalami validasi ulang sebagai aset lindung nilai. Ketika dunia dihantui inflasi, gejolak geopolitik, dan ketidakpastian suku bunga, justru BTC memperlihatkan ketahanannya. Ini bukan sekadar tren, ini pergeseran paradigma,” ujar Oscar.
Oscar juga menyoroti bahwa lonjakan harga kali ini tidak didominasi oleh spekulasi ritel semata. Data menunjukkan bahwa investor besar dan institusi menjadi penggerak utama, yang menandakan bahwa adopsi Bitcoin telah memasuki fase kedewasaan baru.
Pergerakan altcoin pun menunjukkan tren positif, meski tidak sekuat Bitcoin. Ethereum naik 13% dalam sepekan terakhir menjadi sekitar US$1.790, Solana naik 4,2% ke angka US$151, dan Polygon naik hingga 10% menjadi sekitar US$4,08.
Oscar mengimbau agar investor ritel di Indonesia tidak terburu-buru mengambil keuntungan jangka pendek. Ia mendorong masyarakat membangun strategi investasi jangka panjang yang berlandaskan kesabaran dan keyakinan pada fundamental Bitcoin.
“Jangan tergoda untuk panic selling saat harga naik. Justru sekarang adalah waktu untuk mempertahankan aset. Sejarah menunjukkan bahwa mereka yang ‘diamond hand’ yang sabar dan tidak mudah tergoda adalah yang meraih keuntungan terbesar,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa prospek jangka panjang Bitcoin masih sangat menjanjikan. Standard Chartered tetap memprediksi harga Bitcoin bisa mencapai US$200.000 (sekitar Rp3,37 miliar) pada akhir 2025. Bahkan tokoh finansial global Robert Kiyosaki memproyeksikan BTC bisa melampaui US$350.000 (Rp5,9 miliar) pada tahun yang sama.
Oscar optimistis terhadap masa depan aset kripto di Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa volume transaksi di INDODAX naik 1,5% menjadi Rp9,8 triliun sejak awal April, menandakan tingginya minat masyarakat terhadap Bitcoin dan aset digital lainnya.
“Angka ini menunjukkan bahwa masyarakat kita semakin memahami pentingnya aset digital dalam portofolio investasi mereka. Adopsi bukan lagi tren luar negeri, tapi juga berkembang sangat pesat di dalam negeri,” jelasnya.
Oscar juga menekankan bahwa investor pemula tidak perlu menunggu “harga koreksi” untuk masuk ke pasar. Ia menyarankan strategi seperti Dollar Cost Averaging (DCA) agar bisa berinvestasi secara konsisten tanpa harus menebak puncak atau dasar harga.
Menurutnya, sudah saatnya masyarakat mengubah pola pikir terhadap Bitcoin dari spekulatif menjadi strategis. Bitcoin bukan lagi instrumen untuk meraih untung cepat, melainkan aset keuangan modern yang layak diperhitungkan dalam perencanaan keuangan jangka panjang.
“Saya percaya Bitcoin adalah bentuk revolusi teknologi dan keuangan. Nilainya akan terus naik seiring meningkatnya adopsi dan terbatasnya suplai. Yang sabar pasti panen. Yang setia menunggu adalah yang akan menikmati hasil besar,” tutup Oscar.***