JAKARTA, hitsnasional.com – 4 Mei 2025, Biaya transaksi aset kripto di Indonesia dinilai masih kurang kompetitif dibandingkan sejumlah negara lain. CEO INDODAX, Oscar Darmawan, menyebut bahwa tingginya tarif pajak membuat transaksi kripto dalam negeri menjadi dua kali lebih mahal dibandingkan di platform luar negeri, sehingga menghambat daya saing industri nasional.
Saat ini, investor kripto di Indonesia dikenakan pajak final sebesar 0,2 persen untuk Pajak Penghasilan (PPh) dan 0,11 persen untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada setiap transaksi. Sementara itu, sejumlah platform global tidak memberlakukan pajak serupa, yang berpotensi mendorong investor domestik untuk beralih ke platform luar negeri.
“Bukan berarti investor enggan patuh pajak, tetapi besaran tarif saat ini mengurangi daya saing platform dalam negeri. Jika kita ingin industri ini tumbuh, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan penyesuaian tarif PPh menjadi 0,1 persen, sebagaimana berlaku pada perdagangan saham,” ujar Oscar dalam wawancara eksklusif bersama CNBC Indonesia.
Oscar mencontohkan, ketika INDODAX menurunkan biaya transaksi menjadi 0,1 persen pada tahun 2021, volume perdagangan harian mengalami peningkatan signifikan. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal memiliki pengaruh langsung terhadap pertumbuhan pasar kripto dalam negeri.
Ia juga mengapresiasi langkah transisi pengawasan industri kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut Oscar, pengawasan oleh OJK dapat memperkuat regulasi dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap industri.
“Transisi ke OJK memberikan harapan baru. Pengawasan kini lebih terarah dan progresif. Namun, kita berharap agar kebijakan-kebijakan tersebut tetap mendukung inovasi yang berkembang,” katanya.
Selain itu, Oscar menyoroti hambatan regulasi lainnya, termasuk larangan dari Bank Indonesia terhadap institusi keuangan untuk memproses transaksi kripto. Padahal, di beberapa negara lain, perbankan telah mengintegrasikan layanan berbasis kripto dalam sistem pembayaran.
“Di luar negeri, bank sudah bisa memasarkan produk berbasis kripto, bahkan terintegrasi dengan sistem pembayaran. Indonesia perlu mengevaluasi regulasi agar tidak tertinggal dari negara-negara tetangga,” tambahnya.
Oscar juga menekankan pentingnya literasi masyarakat dan pemilihan aset digital secara bijak. “INDODAX menghadirkan program edukasi gratis, bukan untuk mengajak membeli kripto, melainkan membekali masyarakat dengan pengetahuan yang benar dan bertanggung jawab,” ucapnya.
Meski demikian, ia mengakui bahwa keterbatasan regulasi masih menjadi tantangan dalam mengembangkan inovasi baru, seperti keterbatasan dalam proses listing aset dan keterhubungan dengan sistem keuangan nasional.
“Diperlukan percepatan reformasi regulasi agar Indonesia kembali menjadi pionir dalam industri kripto. Dahulu kita termasuk yang tercepat dalam pengaturan, tapi kini justru tertinggal dari negara seperti Thailand dan Jepang,” tutup Oscar.